Sejarah Ibadah Haji
MASA NABI IBRAHIM AS :
1. Sejarah Haji tidak bisa terlepas dari sejarah pembangunan Ka’bah seperti yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as. Ketika Nabi Ibrahim as. selesai membangun Ka’bah, Allah SWT memerintahkannya untuk menyeru manusia agar melaksanakan haji. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, artinya, “Serukanlah kepada seluruh manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. Nabi Ibrahim as berkata kepada Allah SWT, “Wahai Tuhan ! Bagaimana suaraku akan sampai kepada manusia yang jauh ?“, Allah SWT berfirman, “Serulah ! Aku yang akan membuat suaramu sampai“. MASA NABI IBRAHIM AS :
1. Sejarah Haji tidak bisa terlepas dari sejarah pembangunan Ka’bah seperti yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as. Ketika Nabi Ibrahim as. selesai membangun Ka’bah, Allah SWT memerintahkannya untuk menyeru manusia agar melaksanakan haji. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, artinya, “Serukanlah kepada seluruh manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
2. Kemudian Nabi Ibrahim as naik ke Jabal Qubays (sebuah bukit di selatan Ka’bah) dan memasukkan jari tangannya ke telinganya sambil menghadapkan wajahnya ke Timur dan Barat beliau berseru, “Wahai sekalian manusia telah diwajibkan kepadamu menunaikan ibadah haji ke Baitul Atiq, maka sambutlah perintah Tuhanmu Yang Maha Agung“. Seruan tersebut telah didengar oleh setiap yang berada dalam sulbi laki-laki dan rahim wanita. Seruan itu disambut oleh orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah SWT bahwa ia akan melaksanakan haji, sampai hari Kiamat mereka berkata, “LABBAIK ALLAAHUMMA LABBAIK”, artinya, “Telah saya penuhi panggilan-Mu, Ya Allah! Telah saya penuhi panggilan-Mu“.
3. Seusai Nabi Ibrahim as menyeru manusia untuk melaksanakan haji, malaikat Jibril as mengajaknya pergi. Kepada beliau diperlihatkan bukit Safa, Marwah dan perbatasan tanah Haram, lalu diperintahkan untuk menancapkan batu-batu pertanda. Ibrahim as adalah orang yang pertama menegakkan batasan tanah Haram setelah ditunjukkan oleh malaikat Jibril as. Pada tanggal 7 Zulhijah, Nabi Ibrahim as berkhutbah di Mekah ketika matahari condong ke Barat (tergelincir), sementara Nabi Ismail as duduk mendengarkan. Pada esok harinya, keduanya keluar berjalan kaki sambil bertalbiyah dalam keadaan berihram. Masing-masing membawa bekal makanan dan tongkat untuk bersandar. Hari itu dinamakan hari Tarwiah.
Di Mina, keduanya melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Subuh. Mereka tinggal di sebelah kanan Mina sampai terbit matahari dari gunung Tsubair (waktu Dhuha), kemudian keduanya keluar Mina menuju Arafah. Malaikat Jibril as menyertai mereka berdua sambil menunjukkan tanda-tanda batas sampai akhirnya mereka tiba di Namirah. Malaikat Jibril as menunjukkan pula tanda-tanda batas Arafah. Nabi Ibrahim as sudah mengetahui sebelumnya lalu berkata, : عَرَفْتُ ,artinya: “Aku sudah mengetahui”, maka daerah itu dinamakan Arafah.
4. Ketika tergelincir matahari, malaikat Jibril as bersama keduanya menuju suatu tempat (sekarang tempat berdirinya Masjid Namirah), kemudian Nabi Ibrahim as berkhutbah dan Nabi Ismail as duduk mendengarkan, lalu mereka salat jamak taqdim Zuhur dan Asar. Kemudian malaikat Jibril as mengangkat keduanya ke bukit dan mereka berdua berdiri sambil berdoa hingga terbenam matahari dan hilang cahaya merah. Kemudian mereka meninggalkan Arafah berjalan kaki hingga tiba di Juma‘ (daerah Muzdalifah sekarang). Mereka salat Maghrib dan Isya di sana, sekarang tempat jamaah haji melaksanakan salat. Mereka bermalam di sana hingga terbit fajar keduanya diam di Quzah. Sebelum terbit matahari, mereka berjalan kaki hingga tiba di Muhassir. Di tempat ini mereka mempercepat langkahnya. Ketika sudah melewati Muhassir, mereka berjalan seperti sebelumnya. Ketika tiba di tempat jumrah, mereka melontar jumrah Aqabah tujuh kerikil yang dibawa dari Juma’. Kemudian mereka tinggal di Mina pada sebelah kanannya, lalu keduanya menyembelih hewan kurban di tempat sembelihan. Setelah itu memotong rambut dan tinggal beberapa hari di Mina untuk melontar tiga jumrah pulang bali saat matahari mulai naik. Pada hari Shadr, mereka keluar untuk salat Zuhur di Abthah. Itulah ritual ibadah haji yang ditunjukkan oleh malaikat Jibril as sesuai permintaan Nabi Ibrahim as, “…..tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami….” (QS Al Baqarah : 128).
5. Sejarah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as di Makkah
PERINTAH ibadah haji sebagai seruan Nabi Ibrahim as dilakukan segera setelah Ibrahim as beserta putranya Ismail as menyelesaikan pembangunan Ka’bah. “Monumen” bagi keduanya kini adalah Maqam Ibrahim dan Hijr Ismail. Pembangunan Baitullah ini dilakukan oleh Ibrahim as ketika beliau datang ke Mekah untuk yang kelima kalinya sekaligus yang terakhir. Lalu saat peristiwa apa saja Ibrahim as ke Makkahh ?
Pertama : Mengantar Siti Hajar dan Ismail
Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail as berangkat dari Hebron bergerak ke arah tenggara menyusuri rute kafilah yang dikenal sebagai rute wewangian (incense route) sejauh 1.200 km dan tiba di lembah tandus pegunungan Sirat yang puncak-puncaknya meliputi Jabal Ajyad, Jabal Qubais, Jabal Qu’aiq’an, Jabal Hiro, dan Jabal Tsur. Lembah itu bernama Bakkah (Mekah). Siti Hajar dan Ismail as diantarkan ke Mekah karena istri tua Ibrahim Siti Sarah mencemburui Hajar yang telah memberikan putra kepada Ibrahim. Atas perintah Allah SWT Siti Hajar dan putranya ditinggal di bawah sebuah pohon oleh Ibrahim as yang kembali ke Palestina menemui Sarah. Nabi Ibrahim as berdoa menengadahkan tangan, menyebut nama Allah, menitipkan Siti Hajar dan Ismail as di bawah perlindungan dan keselamatan Allah SWT.
Saat air susu habis dan tak ada air, Siti Hajar menaiki bukit Shafa mencari air untuk putranya atau kalau-kalau ada kafilah yang dapat membantu. Ketika tak ada siapapun yang lewat, Siti Hajar berjalan menuruni bukit, lembah, dan mendaki ke bukit Marwah. Melihat ke sekeliling namun tak ada apa-apa pula. Tujuh kali balik dilakukan, hingga akhirnya Allah mengeluarkan air zamzam di tempat Ismail ditinggalkan. Kelak inilah yang mendasari prosesi haji yang bernama Sai.
Kedua: Menyembelih Ismail as
Saat Ismail berusia 11-12 tahun, Ibrahim as menemui keluarganya di Mekah yang telah berubah dibandingkan situasi saat pertama datang. Baru saja melepas rindu, Allah SWT. memerintahkan melalui mimpi agar menyembelih Ismail as.
Saat air susu habis dan tak ada air, Siti Hajar menaiki bukit Shafa mencari air untuk putranya atau kalau-kalau ada kafilah yang dapat membantu. Ketika tak ada siapapun yang lewat, Siti Hajar berjalan menuruni bukit, lembah, dan mendaki ke bukit Marwah. Melihat ke sekeliling namun tak ada apa-apa pula. Tujuh kali balik dilakukan, hingga akhirnya Allah mengeluarkan air zamzam di tempat Ismail ditinggalkan. Kelak inilah yang mendasari prosesi haji yang bernama Sai.
Kedua: Menyembelih Ismail as
Saat Ismail berusia 11-12 tahun, Ibrahim as menemui keluarganya di Mekah yang telah berubah dibandingkan situasi saat pertama datang. Baru saja melepas rindu, Allah SWT. memerintahkan melalui mimpi agar menyembelih Ismail as.
Meskipun mengalami kegalauan, namun akhirnya berkat ketaatan Ibrahim as dan kesabaran Ismail as, “yaa abati af’al maa tu’maru“ – wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, maka perintah itu dapat dilaksanakan. Allah pun menggantikannya dengan sembelihan Qibas (salah satu jenis kambing).
Soal ujian pengorbanan dalam bentuk apapun, Allah sebenarnya tidak bermaksud menganiaya hamba-hamba-Nya, melainkan sekadar “sarana” untuk meningkatkan mutu keimanan dan amal salehnya semata. Dalam ibadah haji, penyembelihan hewan “hadyu” ini dilaksanakan setelah Jumratul Aqabah atau pada hari-hari tasyrik.
Ketiga: Mengganti palang pintu rumah
Soal ujian pengorbanan dalam bentuk apapun, Allah sebenarnya tidak bermaksud menganiaya hamba-hamba-Nya, melainkan sekadar “sarana” untuk meningkatkan mutu keimanan dan amal salehnya semata. Dalam ibadah haji, penyembelihan hewan “hadyu” ini dilaksanakan setelah Jumratul Aqabah atau pada hari-hari tasyrik.
Ketiga: Mengganti palang pintu rumah
Setelah Ismail as berumah tangga dengan memperistri wanita dari suku Jurhum dan Siti Hajar telah meninggal, Ibrahim as datang bersilaturahmi. Namun tidak bertemu dengan putranya karena sedang berburu dalam waktu yang cukup lama. Hanya menantunya yang ada, namun Ibrahim merahasiakan identitas dirinya. Ketika ditanyakan bagaimana keadaan rumah tangga mereka, istri Ismail as tersebut mengeluh tentang kesulitan dan kemiskinan hidup mereka, serta tak ada kebahagiaan sama sekali. Ketika pamit, Ibrahim berpesan kepada menantunya jika Ismail pulang sampaikan salam dan disarankan agar mengganti palang pintu rumahnya. Ketika Ismail as kembali, lalu mendengar cerita istrinya tentang kedatangan tamu beserta pesan-pesannya itu, maka Nabi Ismail as mengerti. Kemudian ia segera menceraikan istrinya yang dinilai rewel, tak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, tidak sabar, serta tidak menghargai usaha suaminya tersebut.
Keempat: Mempertahankan palang pintu rumah
Setahun setelah kedatangan ketiga, Ibrahim as datang lagi ke Mekah untuk menemui putranya, lagi-lagi tak bertemu. Hanya istri Ismail as yang baru yang ditemui. Ia adalah putri sekh suku Jurhum yang bernama As Sayyidah binti Madad bin Amr. Sebagaimana yang lalu, Ibrahim as yang menyembunyikan identitas dirinya, menanyakan pula keadaan rumah tangga mereka.
Ibrahim berdoa “Ya Allah berkahi daging dan air mereka.” (HR Bukhori). Seraya berpesan apabila suaminya pulang nanti agar palang pintunya tak perlu diganti. Demikianlah istri saleh yang senantiasa bersyukur dan tak pernah mengeluh atas hasil usaha suaminya.
Meskipun kedatangan ketiga dan keempat tidak berhubungan dengan ibadah haji, namun bangunan rumah tangga merupakan indikator kesuksesan haji. Hal ini sejalan dengan doa agar sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji senantiasa mendapat perlindungan Allah dari “suu il munqolabi fiil maali wal ahli” (kejelekan harta dan keluarga).
Kelima: Membangun Ka’bah
Tanah yang menggunduk agak tinggi dekat sumur zamzam adalah lokasi pilihan “Ini adalah tempat yang dipilih Allah,” kata Ibrahim as kepada Ismail as (HR Bukhari), lalu keduanya membangun Ka’bah itu. Berbeda dengan bangunan Ka’bah sekarang, dahulu Ka’bah lebih pendek, tak berpintu, serta memanjang meliputi Hijr Ismail sekarang. Ada dua batu istimewa dalam proses pembangunan tersebut, yaitu Hajar al Aswad dan Maqam Ibrahim. Nantinya dalam ritual haji Hajar Aswad menjadi tempat mengawali dan mengakhiri tawaf. Setiap melewatinya mengecup atau ber-istilam. Adapun setelah tawaf, jemaah haji mesti salat 2 (dua) rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Allah SWT pun berfirman, “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang ruku-sujud.” (QS Al Hajj 26).
Kita mengira bahwa Ibrahim as akan meluangkan waktu panjang di Mekah, namun nyatanya tidak, setelah Ka’bah dibangun, Ibrahim as kembali ke Bersyeba Palestina. Sebelumnya itu, Allah menyuruh Ibrahim as untuk mengumumkan kewajiban ibadah haji, berziarah ke Baitullah dengan tata cara (manasik) yang diajarkan Allah kepada Ibrahim a.s, “…..tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami….“ (QS Al-Baqarah :128) dan Allah berfirman, “serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki, mengendarai unta kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh“.
MASA RASULULLAH S.A.W :
IBADAH HAJI sebagai Rukun Islam yang kelima mulai diwajibkan Allah SWT pada tahun 4 Hijri (625 M). Allah menetapkan bahwa syari`at haji dari Nabi Ibrahim a.s. wajib dilaksanakan umat Islam dengan turunnya ayat Al-Qur’an: “Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Ali Imran 97).
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji diwajibkan “bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana” (manistatha`a ilayhi sabila), yaitu mampu dalam hal fisik (sehat), finansial (mempunyai biaya), dan sekuriti (aman tiada gangguan). Ketika perintah haji itu diwahyukan Allah, Makkah sedang dikuasai kaum musyrikin yang memusuhi kaum Muslimin di Madinah. Kondisi itu sudah tentu tidak memungkinkan bagi Nabi Muhammad s.a.w. beserta para shahabat untuk segera menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi Rasulullah s.a.w. memerintahkan para shahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim a.s. dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini melapor kepada Rasulullah s.a.w. bahwa mereka mengerjakan sa`i dengan keraguan, sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua berhala besar Asaf dan Na’ilah. Maka turunlah wahyu Allah, yaitu Al-Baqarah 158: “Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari monumen-monumen Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui”. Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika melakukan sa`i.
Pada bulan Dzulqa`dah 6 Hijri (April 628), Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi menunaikan umrah ke Makkah, lalu mengajak para shahabat untuk merealisasikan mimpi tersebut. Maka Rasulullah s.a.w. beserta sekitar 1500 shahabat berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah. Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah s.a.w. Suhail mengusulkan kesepakatan genjatan senjata antara Makkah dan Madinah, serta kaum Muslimin harus menunda umrah (kembali ke Madinah) tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah. Di luar dugaan para shahabat, ternyata Rasulullah s.a.w. menyetujui usul Suhail itu! Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. “Perjanjian Hudaibiyah” merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam, sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan pulang kembali ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath 27: "Sungguh Allah membenarkan mimpi rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu sekalian pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (tahallul merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat!"
Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Dzulqa`dah 7 Hijri atau Maret 629) Rasulullah s.a.w. beserta para shahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekitar 2000 orang memasuki pelataran Ka`bah untuk melakukan thawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah s.a.w. bersabda kepada jemaah beliau, “Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan thawaf dengan berlari!”
Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah s.a.w. dan para shahabat memulai thawaf dengan berlari-lari mengelilingi Ka`bah, sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat, setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah s.a.w. mengajak para shahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah thawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba’) serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada thawaf yang pertama. Selesai tujuh putaran, Rasulullah s.a.w. shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah melakukan sa`i antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul (menghalalkan kembali larangan-larangan ihram) dengan mencukur kepala beliau.
Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah s.a.w. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Ka`bah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru, sehingga orang-orang Makkah berkumpul ke arah 'suara aneh' yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi imam shalat di depan Ka`bah!
Rasulullah s.a.w. dan para shahabat, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi kegiatan kaum Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tidak lama sesudah itu, tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash dan Utsman ibn Thalhah, menyusul hijrah ke Madinah dan masuk Islam. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Ka`bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka`bah silih berganti sampai Dinasti Sa`udi sekarang, kunci Ka`bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan sesudah Rasulullah s.a.w. berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata, sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijri (11 Januari 630) Rasulullah s.a.w. beserta 10.000 pasukan menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Rasulullah s.a.w. memberikan amnesti massal kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi kaum Muslimin. "Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang," demikian sabda Rasulullah s.a.w. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum dalam Surat Yusuf 92.
Kesucian hati Rasulullah s.a.w. yang tanpa rasa dendam ini menyebabkan seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: “Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu serta memohon ampunlah pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” Setelah menerima ayat ini, Rasulullah s.a.w. pada ruku` dan sujud dalam shalat mengucapkan Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, allahummaghfirli (“Maha Suci Engkau, Ya Allah Tuhan kami, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku”).
Rasulullah s.a.w. segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka`bah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada sya`riat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 Hijri itu Rasulullah melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya, berarti Rasulullah sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijri.
Pada bulan Dzulhijjah 9 Hijri (Maret 631), Rasulullah s.a.w. mengutus shahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran sedang menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru diterima Nabi, bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim a.s.
Pada tahun 10 Hijri (631/632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w. yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal 10 Hijri (awal tahun 632) Rasulullah s.a.w. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah s.a.w. dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tatacara) haji.
Rasulullah s.a.w. berangkat dari Madinah sesudah shalat Jum`at tanggal 25 Dzulqa`dah 10 Hijri (21 Februari 632), mengendarai unta beliau Al-Qashwa’, dengan diikuti sekitar 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta, dan juga putri beliau Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma’, melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah, tetapi Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Asma’ cukup mandi bersuci, lalu memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abi Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661).
Keesokan harinya, Sabtu 26 Dzulqa`dah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah s.a.w. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (“Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji”). Tidak ada yang berniat umrah, sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diajarkan Rasulullah s.a.w. di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada Sabtu 3 Dzulhijjah (29 Februari), mereka tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah, kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya, sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah menghiburnya, “Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci.”
Pada Ahad 4 Dzulhijjah (1 Maret) pagi, Rasulullah s.a.w. dan rombongan memasuki Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan total jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah s.a.w. memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam (‘Pintu Kedamaian’) di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Perlu diketahui bahwa yang disebut “Masjid al-Haram” saat itu adalah lapangan tempat shalat dan thawaf (secara harfiah, masjid artinya ‘tempat sujud’), sedangkan bangunan masjid baru dirintis oleh Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), lalu mengalami perluasan dari masa ke masa sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Bab as-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Bab as-Salam ‘made in Saudi’ ini dengan anggapan melaksanakan Sunnah Nabi!
Pada awal setiap putaran thawaf, jemaah haji disunnahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Ka`bah. Rasulullah s.a.w. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijri, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Makkah tahun 8 Hijri, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijri, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara terakhir ini sangat praktis dan paling afdhal. Tetapi banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang haram (menyakiti sesama jemaah) untuk mengejar yang sunnah!
Rasulullah s.a.w. melakukan thawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, berthawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah s.a.w. cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar (“Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka”). Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah s.a.w. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Ka`bah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah, dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.
Setelah selesai sa`i, Rasulullah s.a.w. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para shahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh shahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji! Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Dzulhijjah. Oleh karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah) mereka harus menyediakan hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu`, artinya ‘bersenang-senang’, sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.
Pada mulanya para shahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi s.a.w. karena “umrah di musim haji” belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak bertahallul! Melihat keraguan para shahabat, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku membawa hadyu, sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku.” Ada juga shahabat yang penasaran bertanya, “Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?” “Tahallul untuk semuanya!” jawab Nabi.
Kemudian Rasulullah s.a.w. mengeluarkan dekrit: Dakhalati l-`umratu ila l-hajji abadan abadan (“Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya”). Artinya, sejak saat itu umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah s.a.w., para shahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu mengubah niat haji menjadi umrah, lalu bertahallul secara massal. Hanya Rasulullah s.a.w. dan sebagian kecil shahabat yang terus berihram (tidak bertahallul) sebab mereka membawa hadyu.
Sejak hari itu, 4 Dzulhijjah 10 Hijri, mulailah diperkenalkan tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu` atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. Sesudah mengerjakan haji, Rasulullah s.a.w. tidak lagi melakukan umrah secara terpisah dan langsung kembali ke Madinah tanggal 14 Dzulhijjah.
Perlu diketahui bahwa cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah s.a.w., melainkan memang diperintahkan Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan tertahan di Hudaibiyah tahun 6 Hijri, tetapi baru pada tahun 10 Hijri Rasulullah s.a.w. berkesempatan menunaikan haji dan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj (“bersenang-senang dengan umrah ke haji”) bagi mereka yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram (“bagi siapa yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram”).
Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah tanggal 26 Dzulqa`dah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., di kemudian hari, “Kami keluar bersama Nabi s.a.w. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan thawaf dan sa`i (‘kami’ di sini adalah jemaah haji, sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah s.a.w. memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul.” Keterangan Jabir ibn Abdillah r.a., shahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah s.a.w., lebih tegas lagi, “Kami bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah, sebab kami tidak mengenal umrah (lasna na`rifu l-`umrah)”. Maksud Jabir tentu tidak mengenal “umrah di musim haji”, sebab ketika rombongan berada di Dzulhulaifah ‘sistem lama’ (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196, agar umat tidak terkejut dengan ‘sistem baru’ (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Dzulhijjah sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan sosialisasi sistem baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah.” Di sini Rasulullah s.a.w. hanya menghimbau, dengan kalimat ‘siapa mau’ (man sya’a). Esok harinya, tanggal 4 Dzulhijjah 10 Hijri (1 Maret 632), ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan thawaf dan sa`i, barulah Rasulullah s.a.w. menginstruksikan cara Haji Tamattu` bagi mereka yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para shahabat, sampai-sampai Rasulullah s.a.w. sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para shahabat pada awalnya enggan ‘meralat’ niat haji menjadi umrah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi di pesawat udara, sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah s.a.w. untuk mengambil cara Haji Tamattu`. Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke Makkah).
Kita teruskan cerita. Siang hari tanggal 4 Dzulhijjah itu Rasulullah s.a.w. mengajak Bilal ibn Rabah sang mu’azzin, dan cucu beliau, Usamah ibn Zaid (putra anak angkat beliau, Zaid ibn Haritsah, yang syahid pada Perang Mu’tah tahun 7 Hijri) untuk memasuki Ka`bah, disertai oleh pemegang kunci Ka`bah, Utsman ibn Thalhah. Ketika pulang dari Ka`bah dan menemui Aisyah, Rasulullah s.a.w. berkata, “Wahai Aisyah, aku tadi melakukan apa yang sebaiknya tidak kulakukan, yaitu memasuki Ka`bah. Aku takut di kemudian hari umatku yang berhaji tidak dapat masuk Ka`bah lalu mereka kecewa. Padahal sesungguhnya kita hanya diperintahkan Allah untuk mengelilinginya, dan tidak diperintahkan memasukinya.”
Pada sore hari 4 Dzulhijjah, Ali ibn Abi Thalib r.a., saudara sepupu dan menantu Nabi s.a.w. yang sejak bulan Ramadhan beliau perintahkan memimpin pasukan ke Yaman, tiba di Makkah beserta rombongannya dengan berpakaian ihram. Jika rombongan Rasul mulai berihram di Dzulhulaifah, maka rombongan Ali mulai berihram di Yalamlam. Setibanya di Makkah, Ali langsung menemui Fatimah. Ali yang belum mengetahui adanya ‘sistem baru’ jelas terkejut melihat istrinya berpakaian bebas dengan rambut terurai. “Siapakah yang menyuruhmu bertahallul, Fatimah?” tegur Ali. “Ayahanda sendiri,” jawab Fatimah, “istri-istri beliau pun semuanya diperintahkan melakukan tahallul.” Ali segera menemui Rasulullah s.a.w. untuk meminta penjelasan. Setelah Rasulullah s.a.w.
Keempat: Mempertahankan palang pintu rumah
Setahun setelah kedatangan ketiga, Ibrahim as datang lagi ke Mekah untuk menemui putranya, lagi-lagi tak bertemu. Hanya istri Ismail as yang baru yang ditemui. Ia adalah putri sekh suku Jurhum yang bernama As Sayyidah binti Madad bin Amr. Sebagaimana yang lalu, Ibrahim as yang menyembunyikan identitas dirinya, menanyakan pula keadaan rumah tangga mereka.
Ibrahim berdoa “Ya Allah berkahi daging dan air mereka.” (HR Bukhori). Seraya berpesan apabila suaminya pulang nanti agar palang pintunya tak perlu diganti. Demikianlah istri saleh yang senantiasa bersyukur dan tak pernah mengeluh atas hasil usaha suaminya.
Meskipun kedatangan ketiga dan keempat tidak berhubungan dengan ibadah haji, namun bangunan rumah tangga merupakan indikator kesuksesan haji. Hal ini sejalan dengan doa agar sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji senantiasa mendapat perlindungan Allah dari “suu il munqolabi fiil maali wal ahli” (kejelekan harta dan keluarga).
Kelima: Membangun Ka’bah
Tanah yang menggunduk agak tinggi dekat sumur zamzam adalah lokasi pilihan “Ini adalah tempat yang dipilih Allah,” kata Ibrahim as kepada Ismail as (HR Bukhari), lalu keduanya membangun Ka’bah itu. Berbeda dengan bangunan Ka’bah sekarang, dahulu Ka’bah lebih pendek, tak berpintu, serta memanjang meliputi Hijr Ismail sekarang. Ada dua batu istimewa dalam proses pembangunan tersebut, yaitu Hajar al Aswad dan Maqam Ibrahim. Nantinya dalam ritual haji Hajar Aswad menjadi tempat mengawali dan mengakhiri tawaf. Setiap melewatinya mengecup atau ber-istilam. Adapun setelah tawaf, jemaah haji mesti salat 2 (dua) rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Allah SWT pun berfirman, “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang ruku-sujud.” (QS Al Hajj 26).
Kita mengira bahwa Ibrahim as akan meluangkan waktu panjang di Mekah, namun nyatanya tidak, setelah Ka’bah dibangun, Ibrahim as kembali ke Bersyeba Palestina. Sebelumnya itu, Allah menyuruh Ibrahim as untuk mengumumkan kewajiban ibadah haji, berziarah ke Baitullah dengan tata cara (manasik) yang diajarkan Allah kepada Ibrahim a.s, “…..tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami….“ (QS Al-Baqarah :128) dan Allah berfirman, “serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki, mengendarai unta kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh“.
MASA RASULULLAH S.A.W :
IBADAH HAJI sebagai Rukun Islam yang kelima mulai diwajibkan Allah SWT pada tahun 4 Hijri (625 M). Allah menetapkan bahwa syari`at haji dari Nabi Ibrahim a.s. wajib dilaksanakan umat Islam dengan turunnya ayat Al-Qur’an: “Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Ali Imran 97).
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji diwajibkan “bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana” (manistatha`a ilayhi sabila), yaitu mampu dalam hal fisik (sehat), finansial (mempunyai biaya), dan sekuriti (aman tiada gangguan). Ketika perintah haji itu diwahyukan Allah, Makkah sedang dikuasai kaum musyrikin yang memusuhi kaum Muslimin di Madinah. Kondisi itu sudah tentu tidak memungkinkan bagi Nabi Muhammad s.a.w. beserta para shahabat untuk segera menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi Rasulullah s.a.w. memerintahkan para shahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim a.s. dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini melapor kepada Rasulullah s.a.w. bahwa mereka mengerjakan sa`i dengan keraguan, sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua berhala besar Asaf dan Na’ilah. Maka turunlah wahyu Allah, yaitu Al-Baqarah 158: “Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari monumen-monumen Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui”. Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika melakukan sa`i.
Pada bulan Dzulqa`dah 6 Hijri (April 628), Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi menunaikan umrah ke Makkah, lalu mengajak para shahabat untuk merealisasikan mimpi tersebut. Maka Rasulullah s.a.w. beserta sekitar 1500 shahabat berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah. Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah s.a.w. Suhail mengusulkan kesepakatan genjatan senjata antara Makkah dan Madinah, serta kaum Muslimin harus menunda umrah (kembali ke Madinah) tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah. Di luar dugaan para shahabat, ternyata Rasulullah s.a.w. menyetujui usul Suhail itu! Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. “Perjanjian Hudaibiyah” merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam, sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan pulang kembali ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath 27: "Sungguh Allah membenarkan mimpi rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu sekalian pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (tahallul merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat!"
Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Dzulqa`dah 7 Hijri atau Maret 629) Rasulullah s.a.w. beserta para shahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekitar 2000 orang memasuki pelataran Ka`bah untuk melakukan thawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah s.a.w. bersabda kepada jemaah beliau, “Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan thawaf dengan berlari!”
Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah s.a.w. dan para shahabat memulai thawaf dengan berlari-lari mengelilingi Ka`bah, sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat, setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah s.a.w. mengajak para shahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah thawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba’) serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada thawaf yang pertama. Selesai tujuh putaran, Rasulullah s.a.w. shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah melakukan sa`i antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul (menghalalkan kembali larangan-larangan ihram) dengan mencukur kepala beliau.
Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah s.a.w. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Ka`bah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru, sehingga orang-orang Makkah berkumpul ke arah 'suara aneh' yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi imam shalat di depan Ka`bah!
Rasulullah s.a.w. dan para shahabat, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi kegiatan kaum Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tidak lama sesudah itu, tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash dan Utsman ibn Thalhah, menyusul hijrah ke Madinah dan masuk Islam. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Ka`bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka`bah silih berganti sampai Dinasti Sa`udi sekarang, kunci Ka`bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan sesudah Rasulullah s.a.w. berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata, sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijri (11 Januari 630) Rasulullah s.a.w. beserta 10.000 pasukan menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Rasulullah s.a.w. memberikan amnesti massal kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi kaum Muslimin. "Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang," demikian sabda Rasulullah s.a.w. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum dalam Surat Yusuf 92.
Kesucian hati Rasulullah s.a.w. yang tanpa rasa dendam ini menyebabkan seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: “Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu serta memohon ampunlah pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” Setelah menerima ayat ini, Rasulullah s.a.w. pada ruku` dan sujud dalam shalat mengucapkan Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, allahummaghfirli (“Maha Suci Engkau, Ya Allah Tuhan kami, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku”).
Rasulullah s.a.w. segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka`bah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada sya`riat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 Hijri itu Rasulullah melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya, berarti Rasulullah sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijri.
Pada bulan Dzulhijjah 9 Hijri (Maret 631), Rasulullah s.a.w. mengutus shahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran sedang menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru diterima Nabi, bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim a.s.
Pada tahun 10 Hijri (631/632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w. yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal 10 Hijri (awal tahun 632) Rasulullah s.a.w. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah s.a.w. dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tatacara) haji.
Rasulullah s.a.w. berangkat dari Madinah sesudah shalat Jum`at tanggal 25 Dzulqa`dah 10 Hijri (21 Februari 632), mengendarai unta beliau Al-Qashwa’, dengan diikuti sekitar 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta, dan juga putri beliau Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma’, melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah, tetapi Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Asma’ cukup mandi bersuci, lalu memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abi Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661).
Keesokan harinya, Sabtu 26 Dzulqa`dah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah s.a.w. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (“Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji”). Tidak ada yang berniat umrah, sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diajarkan Rasulullah s.a.w. di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada Sabtu 3 Dzulhijjah (29 Februari), mereka tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah, kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya, sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah menghiburnya, “Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci.”
Pada Ahad 4 Dzulhijjah (1 Maret) pagi, Rasulullah s.a.w. dan rombongan memasuki Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan total jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah s.a.w. memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam (‘Pintu Kedamaian’) di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Perlu diketahui bahwa yang disebut “Masjid al-Haram” saat itu adalah lapangan tempat shalat dan thawaf (secara harfiah, masjid artinya ‘tempat sujud’), sedangkan bangunan masjid baru dirintis oleh Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), lalu mengalami perluasan dari masa ke masa sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Bab as-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Bab as-Salam ‘made in Saudi’ ini dengan anggapan melaksanakan Sunnah Nabi!
Pada awal setiap putaran thawaf, jemaah haji disunnahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Ka`bah. Rasulullah s.a.w. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijri, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Makkah tahun 8 Hijri, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijri, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara terakhir ini sangat praktis dan paling afdhal. Tetapi banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang haram (menyakiti sesama jemaah) untuk mengejar yang sunnah!
Rasulullah s.a.w. melakukan thawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, berthawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah s.a.w. cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar (“Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka”). Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah s.a.w. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Ka`bah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah, dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.
Setelah selesai sa`i, Rasulullah s.a.w. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para shahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh shahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji! Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Dzulhijjah. Oleh karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah) mereka harus menyediakan hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu`, artinya ‘bersenang-senang’, sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.
Pada mulanya para shahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi s.a.w. karena “umrah di musim haji” belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak bertahallul! Melihat keraguan para shahabat, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku membawa hadyu, sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku.” Ada juga shahabat yang penasaran bertanya, “Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?” “Tahallul untuk semuanya!” jawab Nabi.
Kemudian Rasulullah s.a.w. mengeluarkan dekrit: Dakhalati l-`umratu ila l-hajji abadan abadan (“Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya”). Artinya, sejak saat itu umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah s.a.w., para shahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu mengubah niat haji menjadi umrah, lalu bertahallul secara massal. Hanya Rasulullah s.a.w. dan sebagian kecil shahabat yang terus berihram (tidak bertahallul) sebab mereka membawa hadyu.
Sejak hari itu, 4 Dzulhijjah 10 Hijri, mulailah diperkenalkan tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu` atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. Sesudah mengerjakan haji, Rasulullah s.a.w. tidak lagi melakukan umrah secara terpisah dan langsung kembali ke Madinah tanggal 14 Dzulhijjah.
Perlu diketahui bahwa cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah s.a.w., melainkan memang diperintahkan Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan tertahan di Hudaibiyah tahun 6 Hijri, tetapi baru pada tahun 10 Hijri Rasulullah s.a.w. berkesempatan menunaikan haji dan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj (“bersenang-senang dengan umrah ke haji”) bagi mereka yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram (“bagi siapa yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram”).
Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah tanggal 26 Dzulqa`dah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., di kemudian hari, “Kami keluar bersama Nabi s.a.w. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan thawaf dan sa`i (‘kami’ di sini adalah jemaah haji, sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah s.a.w. memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul.” Keterangan Jabir ibn Abdillah r.a., shahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah s.a.w., lebih tegas lagi, “Kami bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah, sebab kami tidak mengenal umrah (lasna na`rifu l-`umrah)”. Maksud Jabir tentu tidak mengenal “umrah di musim haji”, sebab ketika rombongan berada di Dzulhulaifah ‘sistem lama’ (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196, agar umat tidak terkejut dengan ‘sistem baru’ (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Dzulhijjah sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan sosialisasi sistem baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah.” Di sini Rasulullah s.a.w. hanya menghimbau, dengan kalimat ‘siapa mau’ (man sya’a). Esok harinya, tanggal 4 Dzulhijjah 10 Hijri (1 Maret 632), ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan thawaf dan sa`i, barulah Rasulullah s.a.w. menginstruksikan cara Haji Tamattu` bagi mereka yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para shahabat, sampai-sampai Rasulullah s.a.w. sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para shahabat pada awalnya enggan ‘meralat’ niat haji menjadi umrah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi di pesawat udara, sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah s.a.w. untuk mengambil cara Haji Tamattu`. Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke Makkah).
Kita teruskan cerita. Siang hari tanggal 4 Dzulhijjah itu Rasulullah s.a.w. mengajak Bilal ibn Rabah sang mu’azzin, dan cucu beliau, Usamah ibn Zaid (putra anak angkat beliau, Zaid ibn Haritsah, yang syahid pada Perang Mu’tah tahun 7 Hijri) untuk memasuki Ka`bah, disertai oleh pemegang kunci Ka`bah, Utsman ibn Thalhah. Ketika pulang dari Ka`bah dan menemui Aisyah, Rasulullah s.a.w. berkata, “Wahai Aisyah, aku tadi melakukan apa yang sebaiknya tidak kulakukan, yaitu memasuki Ka`bah. Aku takut di kemudian hari umatku yang berhaji tidak dapat masuk Ka`bah lalu mereka kecewa. Padahal sesungguhnya kita hanya diperintahkan Allah untuk mengelilinginya, dan tidak diperintahkan memasukinya.”
Pada sore hari 4 Dzulhijjah, Ali ibn Abi Thalib r.a., saudara sepupu dan menantu Nabi s.a.w. yang sejak bulan Ramadhan beliau perintahkan memimpin pasukan ke Yaman, tiba di Makkah beserta rombongannya dengan berpakaian ihram. Jika rombongan Rasul mulai berihram di Dzulhulaifah, maka rombongan Ali mulai berihram di Yalamlam. Setibanya di Makkah, Ali langsung menemui Fatimah. Ali yang belum mengetahui adanya ‘sistem baru’ jelas terkejut melihat istrinya berpakaian bebas dengan rambut terurai. “Siapakah yang menyuruhmu bertahallul, Fatimah?” tegur Ali. “Ayahanda sendiri,” jawab Fatimah, “istri-istri beliau pun semuanya diperintahkan melakukan tahallul.” Ali segera menemui Rasulullah s.a.w. untuk meminta penjelasan. Setelah Rasulullah s.a.w.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !